Wanita “Gila” Yang Berteriak Di Masjid Raya Baiturrahman Itu Bernama Cut Nyak Dhien!

Terlahir dalam keluarga yang kaya raya. Rumahnya, memiliki 65 tiang penyangga. Dalam budaya Aceh, semakin banyak tiang penyangga rumah, maka semakin kaya pulalah pemilik dari rumah tersebut. Gadis kecil yang berdarah campuran antara minang dan Aceh ini, kesehariannya hanyalah mengaji, mempelajari alquran, lalu belajar menulis. Hampir tidak ada yang istimewa darinya. Sama seperti gadis keturunan bangsawan Aceh lainnya kala itu.

Ayahnya, walaupun seorang bangsawan terkemuka di kawasan Aceh besar, akan tetapi, beliau juga seorang dai yang cukup disegani. Tidak ada kata negosiasi jika telah menyangkut dengan agama. Gadis kecil itu hidup dengan penuh kemapanan. Lebih dari cukup. Tanahnya luas, agamanya bagus, berparas anggun. Santun, dan bertutur kata bijak lagi manis. Siapa yang tak tertarik dengannya? Ia menjadi primadona di mata para pria di 6 mukim!
Umurnya masih 12 tahun, saat ia dipinang oleh seorang pemuda gagah, bagus pula agamanya.Teuku Ibrahim Lamnga. Indahnya sebuah pernikahan berjalan layaknya biduk yang mengalun di atas punggung danau lut tawar yang menentramkan jiwa.

Sebelas tahun telah berlalu. Pernikahan yang indah itu tiba-tiba berdetak hebat! Berguncang sejadi-jadinya. Pasukan Belanda menyerang Aceh melalui pelabuhan Ulee Lheue. Suaminya yang saban malam tidur manis disisinya, kini sibuk menyusun strategi perang bersama Sultan, Panglima Polem, dan para Ulubalang lainnya. Perang gila ini terus berkecamuk hanya karena keserakahan Belanda! Sejak hari itu, 26 maret 1873, tak ada satu gadispun di Aceh yang bisa tidur tenang. Tidak ada satu emak pun di Aceh yang tak khawatir. Senandung perang dinyanyikan. Hikayat perang dilantunkan! Aceh Perang Besar hari itu!

Dasar Perampok! Tak didapatnya tanah, masjid pun di bakarnya. Langit Banda Aceh memerah seketika. Api besar membumbung tepat ditengah kota! Seorang wanita muda, cantik dan ayu. Tiba-tiba berteriak memekik ditengah suasana yang membingungkan. Berdiri dia, dari tempat duduknya. Mukanya memerah. Seolah panasnya api dari kayu masjid yang terbakar ikut merasuk dalam hatinya yang sesaat tadi masih dimabuk cinta. Seperti orang yang hilang arah dan tujuan. Ia, wanita nan elok rupa itu berteriak sejadi-jadinya. Hingga seluruh pelosok negeri bertakbir! Allahu Akbar!!

"Wahai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu! Masjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala! Tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak kafir Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59)

Suaminya, tertegun kagum kepadanya. Cinta sang suami semakin membuncah pada titik yang tertinggi. “Aku, mencintaimu Cut Nyak”. Orang-orang Aceh memanggul senjata bersama sang kekasih hati. Teriakan takbir terus berkumandang seiring satu persatu personel kerajaan Belanda berjatuhan di Bumi Rencong.
Karena teriakannya ditengah Masjid yang terbakar, rakyat Aceh akhirnya meneriakan perang Jihad melawan kafir Belanda. Karena teriakannya, Belanda semakin susah hatinya. Mereka sadar, kalau strategi mereka tidak mempan dibandingkan dengan kekuatan hati seorang wanita cantik berdarah Aceh Besar itu. Iya, Belanda menciut nyalinya!

Perang demi perang berlangsung, kematian demi kematian menyambangi bumi serambi mekkah. Satu persatu para suami berguguran bersimbah darah. Kesultanan goyang dan akhirnya tumbang. Para Teungku Imum terus memekik takbir, para wanita terus melantunkan lagu nuansa perang kepada sang bayi. Berharap esok, bayi itu menjadi penjuang ditanah para syuhada ini.

“Hai buyung, hai anakku tersayang. Laki-laki engkau, ayahmu dan datukmu laki-laki pula, perlihatkanlah kejantananmu, orang kafir hendak menjajah kita, hendak mengganti agama kita dengan agamanya, agama kafir,pertahankan hak kita orang Aceh, pertahankan agama kita agama islam.”
“Wahai anakku, turutlah jejak ayahmu, Teuku Ibrahim Lamnga, sekarang dia tidak ada di rumah, tetapi janganlah engkau menyangka bahwa ayahmu sedang mengumpulkan kawan buat menyambut kedatangan kafir tetapi akan mengusirnya ke luar tanah Aceh.” (H.M Zainuddin, 1966 : 62-63). Sebuah senandung nan syahdu mengalun syahdu dari mulut cut nyak dhien.
****
 “Mengungsilah! Semoga Tuhan melindungimu! Tujuh puluh pengawal bersenjata aku tinggalkan untuk mengawanimu. Sekalian mereka itu adalah kawan-kawan terpilih yang setia. Sekiranya kita tidak bertemu, kawan yang tujuh puluh orang itulah yang akan bersamamu berjuang di jalan Allah.”

Sebuah pesan yang disampaikan oleh sang suami tercinta, ketika keadaan semakin terdesak. Maut tak dapat di elak, 5 tahun sejak awal pertama muntahan meriam Belanda menginjaki pasir hitam pantai Cermin Ulee Lheue, sang Suami menghadap kepada sang Penciptanya. Meninggal dengan menyandang gelar Syahid.

Hatinya yang telah panas, semakin panas. Kali ini, bukan hanya api yang bergemuruh didalam dadanya. Akan tetapi, singa buas dalam dirinya pun bangkit! Digenggamnya rencong erat-erat. Ditariknya pedang panjang. Ia siap turun ke medan perang!
ia bersumpah, bila hendak menikah lagi, dia harus menikah dengan orang yang mampu memerangi  Belanda dari Tanah Rencong. Dan, seorang Pemuda yang berumur masih 20an serta beristri dua berhasrat meminangnya. Ya, kalian semua tahu dia siapa, Dia adalah Teuku Umar Johan Pahlawan. Pemuda bangsawan yang Bengal lagi panjang akalnya. Pemuda yang berilmu tapi nakal dalam berkawan. Dia, dia adalah seorang pemuda yang berhasil membuat Belanda rugi besar!
Kisah selanjutnya, kalian semua pasti sudah tahu. Akan tetapi, sekarang, kalian, bertanya kepadaku,

Apakah Cut Nyak Dhien berjilbab? Apakah benar itu foto cut Nyak Dhien?

Kenapa harus Kartini bukan Cut Nyak Dhien saja yang menjadi pelopor pahlawan perjuangan wanita Indonesia?

Pertanyaan demi pertanyaan hanya menyisakan sebuah debat panjang yang tak berujung. Berjilbabkah Cut Nyak Dien? Saya tak berani berandai-andai terlalu jauh. Tapi seorang dai-ah, seorang yang mencintai mati syahid, seorang wanita yang berani berteriak lantang didepan kaum adam kala masjid kebanggaan orang Aceh hangus dibakar oleh orang kafir, seorang wanita yang bersuamikan seorang alim agama, bukankah terlalu aneh bila beliau tidak mengerti perihal menutup aurat yang diwajibkan oleh agama yang dia agung-agungkan?


Lalu foto itu? Anggaplah itu semua buah dari penjajahan belanda. Jangankan jilbab seorang wanita, masjid saja mereka bakar! Jilbab itu hanya perihal sepele dalam memalukan seorang muslimah bila dibandingkan dengan masjid agung yang dibakar sampai tak bersisa.

Mengapa bukan Cut Nyak Dhien? Mengapa harus Kartini. Saya lagi-lagi tak ingin terjebak dalam debat kusir yang tak bertuan lagi tak berujung. Disini, keduanya beda konteks. Satu menggunakan cara damai ala “Jawa”. Satu lagi menggunakan cara beringas ala “Aceh”. Satu curhat mengenai keadaan wanita yang terkangkangi oleh adat dan penjajahan Belanda di Jawa. Yang satu lagi berteriak-teriak membangun semangat rakyat untuk berjuang sampai titik darah penghabisan demi mengusir kafir Penjajah.

Lalu, bagaimana caranya kedua hal tersebut disatukan? Sungguh, saya sendiri tak ingin beralibi. Karena esok hari, artinya saya harus mengejar makam Panglima Perang Aceh, Teuku Cik Ibrahim Lamnga!


Wanita “Gila” Yang Berteriak Di Masjid Raya Baiturrahman Itu Bernama Cut Nyak Dhien! Wanita “Gila” Yang Berteriak Di Masjid Raya Baiturrahman Itu Bernama Cut Nyak Dhien! Reviewed by kukoin on 01.24.00 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.